Kamis, 26 Juli 2012

Penilaian Kinerja Keuangan Daerah

Penilaian Kinerja Keuangan Daerah
Penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah (Pemda) sangat berbeda dengan penilaian kinerja keuangan perusahaan. Selain berbasis anggaran, keuangan Pemda tidak memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan atau laba (profits atau net income), meskipun ada sebutan surplus atau defisit untuk selisih antara pendapatan dan belanja. Surplus/defisit menunjukkan sebuah “muara” dari “komitmen” atau “kesepakatan” antara eksekutif (kepala daerah dan jajarannya) dengan legislatif (DPRD) dalam satu tahun anggaran, yang di hulunya sendiri sudah dihiasi dengan berbagai asumsi ddan “kompensasi”.
Surplus/Defisit
Surplus/defisit menunjukkan selisih antara pendapatan dan belanja, baik di anggaran (APBD) maupun dalam laporan realisasi anggaran (LRA). Jika anggaran/realisasi pendapatan lebih besar daripada anggaran/realisasi belanja, maka terjadi surplus, kalau sebaliknya maka terjadi defisit.
Ada Pemda yang mengalami surplus dalam anggaran ataupun realisasi anggarannya, namun lebih banyak lagi Pemda yang mengalami defisit. Namun, bukan berarti lebih sedikit Pemda yang kondisi keuangannya baik dibanding yang buruk, karena surplus/defisit bukanlah petunjuk baik buruknya kinerja keuangan Pemda.
Surplus/defisit dalam APBD merupakan hasil “kesepakatan” antara Kepala Daerah dan DPRD, sebagai suatu bentuk “kontrak” antara eksekutif dan legislatif. Meskipun pengajuan rancangan APBD merupakan “hak prerogatif” Kepala Daerah, namun setelah menjadi Perda APBD, birokrasi (kepala SKPD selaku pengguna anggaran/PA dan pegawai di bawahnya) berkewajiban “melaksanakan APBD apa adanya”. Tak ada ruang lagi bagi kepala SKPD/PA untuk membuat kebijakan (no discretionary power).
Jika kepala SKPD/PA tidak memiliki ruang untuk membuat kebijakan dalam pelaksanaan dokumen keuangan daerah (APBD), maka dasar penilaian kinerjanya hanyalah seberapa patuh dia pada APBD pada saat melaksanakannya. Sang kepala SKPD/PA tidak boleh melanggar target-target dalam APBD, kecuali melampaui target pendapatan dan/atau merealisasikan belanja di bawah pagu.
Analisis Rasio-rasio Keuangan Daerah
Sudah menjadi sebuah kelaziman bahwa untuk menilai kinerja keuangan dibuat rasio-rasio, yang merupakan perbandingan antara angka-angka tertentu dalam laporan keuangan dikalikan 100%. Hal ini menunjukkan nilai relatif atau proporsi di antara dua angka yang dipakai, yang diasumsikan memiliki hubungan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, yang bersumber dari laporan keuangan Pemda (LKPD).
LKPD merupakan dokumen pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD yang disampaikan oleh kepala daerah ke DPRD. Sebelum LKPD, yang merupakan keluaran (output) dari sebuah proses akuntansi keuangan Pemda, terlebih dahulu harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Dalam laporan hasil pemeriksaannya (LHP), BPK menyatakan opini atas LKPD yang telah diaudit tersebut. Oleh karena itu, kualitas pengelolaan keuangan daerah secara tidak langsung dapat dilihat dari opini BPK ini.
Apabila angka-angka yang tersaji dalam LKPD bukanlah yang sesungguhnya, maka informasi yang terkandung dalam rasio-rasio keuangan yang dianalisis untuk menilai kinerja keuangan Pemda menjadi kurang tepat.  Selain akurat, informasi yang tertera dalam LKPD juga harus relevan, yakni sejalan dengan kebutuhan pengguna LKPD tersebut. Keterkaitan validitas dan relevansi ini perlu dipahami oleh setiap users LKPD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar