Penilaian
Kinerja Keuangan Daerah
Penilaian
kinerja keuangan pemerintah daerah (Pemda) sangat berbeda dengan penilaian
kinerja keuangan perusahaan. Selain berbasis anggaran, keuangan Pemda tidak
memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan atau laba (profits atau net
income), meskipun ada sebutan surplus atau defisit untuk selisih antara
pendapatan dan belanja. Surplus/defisit menunjukkan sebuah “muara” dari
“komitmen” atau “kesepakatan” antara eksekutif (kepala daerah dan jajarannya)
dengan legislatif (DPRD) dalam satu tahun anggaran, yang di hulunya sendiri
sudah dihiasi dengan berbagai asumsi ddan “kompensasi”.
Surplus/Defisit
Surplus/defisit
menunjukkan selisih antara pendapatan dan belanja, baik di anggaran (APBD)
maupun dalam laporan realisasi anggaran (LRA). Jika anggaran/realisasi
pendapatan lebih besar daripada anggaran/realisasi belanja, maka terjadi
surplus, kalau sebaliknya maka terjadi defisit.
Ada
Pemda yang mengalami surplus dalam anggaran ataupun realisasi anggarannya,
namun lebih banyak lagi Pemda yang mengalami defisit. Namun, bukan berarti
lebih sedikit Pemda yang kondisi keuangannya baik dibanding yang buruk, karena
surplus/defisit bukanlah petunjuk baik buruknya kinerja keuangan Pemda.
Surplus/defisit
dalam APBD merupakan hasil “kesepakatan” antara Kepala Daerah dan DPRD, sebagai
suatu bentuk “kontrak” antara eksekutif dan legislatif. Meskipun pengajuan
rancangan APBD merupakan “hak prerogatif” Kepala Daerah, namun setelah menjadi
Perda APBD, birokrasi (kepala SKPD selaku pengguna anggaran/PA dan pegawai di
bawahnya) berkewajiban “melaksanakan APBD apa adanya”. Tak ada ruang lagi bagi
kepala SKPD/PA untuk membuat kebijakan (no discretionary power).
Jika
kepala SKPD/PA tidak memiliki ruang untuk membuat kebijakan dalam pelaksanaan
dokumen keuangan daerah (APBD), maka dasar penilaian kinerjanya hanyalah seberapa
patuh dia pada APBD pada saat melaksanakannya. Sang kepala SKPD/PA tidak
boleh melanggar target-target dalam APBD, kecuali melampaui target pendapatan
dan/atau merealisasikan belanja di bawah pagu.
Analisis
Rasio-rasio Keuangan Daerah
Sudah
menjadi sebuah kelaziman bahwa untuk menilai kinerja keuangan dibuat
rasio-rasio, yang merupakan perbandingan antara angka-angka tertentu dalam
laporan keuangan dikalikan 100%. Hal ini menunjukkan nilai relatif atau
proporsi di antara dua angka yang dipakai, yang diasumsikan memiliki hubungan,
baik secara langsung ataupun tidak langsung, yang bersumber dari laporan
keuangan Pemda (LKPD).
LKPD
merupakan dokumen pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD yang disampaikan
oleh kepala daerah ke DPRD. Sebelum LKPD, yang merupakan keluaran (output)
dari sebuah proses akuntansi keuangan Pemda, terlebih dahulu harus diaudit oleh
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Dalam laporan hasil
pemeriksaannya (LHP), BPK menyatakan opini atas LKPD yang telah diaudit
tersebut. Oleh karena itu, kualitas pengelolaan keuangan daerah secara tidak
langsung dapat dilihat dari opini BPK ini.
Apabila
angka-angka yang tersaji dalam LKPD bukanlah yang sesungguhnya, maka informasi
yang terkandung dalam rasio-rasio keuangan yang dianalisis untuk menilai
kinerja keuangan Pemda menjadi kurang tepat. Selain akurat, informasi
yang tertera dalam LKPD juga harus relevan, yakni sejalan dengan kebutuhan
pengguna LKPD tersebut. Keterkaitan validitas dan relevansi ini perlu dipahami
oleh setiap users LKPD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar