ASAR HUKUM
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
1. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
2. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
3. Nomor 42 Tahun 2009 ( Revisi terbaru )
PENGERTIAN PENGERTIAN
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
3. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
4. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang.
5. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
6. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
7. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
BARANG KENAPAJAK (BKP)
Barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau batrang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Barang-Barang Yang Dikecualikan Dari BKP, antara lain :
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
JASA KENA PAJAK ( JKP )
Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasrkan UU PPN 1984.
PENGECUALIAN JKP
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
1. jasa pelayanan kesehatan medis;
2. jasa pelayanan sosial;
3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
4. jasa keuangan;
5. jasa asuransi;
6. jasa keagamaan;
7. jasa pendidikan;
8. jasa kesenian dan hiburan;
9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
11. jasa tenaga kerja;
12. jasa perhotelan;
13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
14. jasa penyediaan tempat parkir;
15. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17. jasa boga atau katering.
PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
PKP berkewajiban, antara lain untuk:
1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP
2. memungut PPN dan PPn BM yang terutang
3. membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak
4. membuat nota return dalam hal terdapat pengambilan BKP
5. melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya
6. menyetor PPN dan PPn BM yang terutang
7. menyampaikan surat pemberitahuan masa PPN
Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai pengusaha kena pajak adalah :
1. pengusaha kecil
2. pengusaha yang semata-mata menyerakan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPn BM)
Batas suatu barang termasuk BKP yang tergolong mewah adalah :
1. Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
5. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta menggangu ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.
PPn BM dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
2. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
DASAR PENGENAAN PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM ) yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP adalah :
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang- Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
3. Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang- Undang ini.
4. Nilai Eksport
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan
TARIF PAJAK
A. Tarif pajak Pertambahan Nilai
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
B. Tarif Pajak Atas Penjualan Barang Mewah
1. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
2. Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
3. Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
MEKANISME PENGENAAN PPN
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Dihapus
2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
a. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
b. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
3. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
a. Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
i. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
ii. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
iii. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
iv. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
v. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
vi. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
c. Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
d. Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
e. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
f. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
5. Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
a. Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
b. Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
7. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
a. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
b. Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran Yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
9. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
10. Dihapus.
11. Dihapus.
12. Dihapus.
13. Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
14. Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
CARA MENGHITUNG PPN
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
CARA MENGHITUNG PPn BM
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
SAAT TERUTANG PAJAK
1. Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
2. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
3. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
TEMPAT TERUTANG PAJAK
1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
2. Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
3. Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dalam faktur pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
MEKANISME KREDIT PAJAK
Pembeli BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean wajib membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak berupa faktur pajak. Apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya meruakan PPN yang harus disetor oleh PKP ke Kas Negara selambat-lambatnya 15 bulan berikutnya. Sedangkan apabila dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan pada masa pajak berikutnya.
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
f. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
g. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
i. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
PENYERAHAN KEPADA PEMUNGUT PPN
Pemungut PPN adalah bendaharawan pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri keuangan untuk memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP atau JKP kepada bendaharawan pemerintah badan atau instansi pemerintah tersebut.
Sedikit menyimpang dari mekanisme secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP dan atau JKP kepada pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan PPnBM. PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas negara oleh pemungut PPN.
PPN dan PPnBM tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah.
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
4. Pembayaran atas penyerahan BBM dan bukan BBM oleh PT Pertamina.
5. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
TATA CARA PEMUNGUTAN
1. Dasar pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran sebagaimana tersebut dalam Surat perintah Membayar (SPM).
2. Jumlah atau PPnBM yang dipungut
a) Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN uang dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
b) Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut disamping terutang PPN juga terutang PPnBM.
c) Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 Dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah maka PPN dan PPnBM tidak perlu dipungut oleh bendaharawan pemerintah.
3. Tata Cara pemungutan dan penyetoran
a. PKP rekana pemerintah membuat faktur pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian atau seluruh pembayaran
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP rekana pemerintah yang bersangkutan, tetapi penendatanganan SSP dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atau KPKN (Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara) sebagai penyetor atas nama PKP rekanan pemerintah
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam 3 rangkap.
d. Dalam hal pemungutan oleh bendaharawan pemerintah, SSP yang dimaksud dalam huruf a dibuat dalam 5 rangkap.
e. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam 4 rangkap.
f. Pada lembar faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d, di cap dan ditandatangani oleh bendahara pemerintah.
g. Faktur pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM.
PPN ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI
Yang dimaksud dengan kegiatan membangun di sini adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. , dimana untuk pembangunan rumah yang diperuntukan sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha dengan luas kurang dari 300 meter persegi tidak akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Bangunan yang terutang PPN adalah berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria :
1. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b.Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10 persen dengan dasar pengenaan pajak, yaitu sebesar 40 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Dimana Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
PPN = ( 40% x Jumlah biaya yang dikeluarkan ) x 10%
Saat dan Tempat Terutang PPN
Pembayaran PPN terutang dilakukan setiap bulan, dan wajib disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan.
SURAT PEMBERITAHUAN MASA (SPT MASA) PPN
SPT Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh PKP mengenai perhitungan:
1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau penerimaan JKP
2. Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP
3. Penyetoran pajak atau kompensasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar